Aku mulai terbiasa dengan segala bentuk terburuk dari keadaan,
hanya saja seperti belum siap menemani kekecewaan.
sadar akan semua berakhir dengan masing-masing beban
keterikatan menyajikan senja dipelupuk mata.
Begitu banyak terlihat ratap yang mengendap
hingga kadang oceh tak selalu sadar akan sabar.
suara-suara itu bergemuruh menghina telinga.
mengukur berat tanpa neraca.
Aku menyingkir untuk berpikir,
sampai kapan mental terpental menjalari nasip.
Sementara angkuh kian mengelilingi setiap sendi,
bagaimana aku akan bertahan.
sayup-sayup jengkel tak pernah terlambat hadir,
di sekitar teras gaduhnya emosi yang enggan untuk menyamping.
hina demi hina diterima,
aku hanya sebatas luka yang sembuh lalu di ukir menjadi lukisan sekarat.
Sirna....
- Isya Andika